Jumat, 26 November 2010

DILEMA HAK HUKUM WARGA NEGARA INDONESIA


Didalam Undang-undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28D ayat (1) menyebutkan bahwa, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum“. Ini merupakan pijakan dasar dan perintah konstitusi untuk menjamin setiap warga Negara, termasuk orang yang tidak mampu, untuk mendapatkan akses terhadap keadilan agar hak-hak mereka atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dapat diwujudkan dengan baik. Posisi dan kedudukan seseorang didepan hokum (the equality of law) ini, menjadi sangat penting dalam mewujudkan tatanan system hokum serta rasa keadilan masyarakat kita.

Bantuan hukum merupakan salah satu hak dasar warga Negara. Hanya yang menjadi permasalahan utama disini adalah, apakah bantuan hokum ini dapat diperoleh dengan mudah (acces to abiality) oleh masyarakat atau tidak, termasuk pada aspek jaminan ekonomisnya. Satu contoh sederhana dapat kita lihat dalam penggunaan jasa advokat sebagai tenaga bantuan hokum formal (legal aid), yang diakui dalam system hokum kita. Begitu banyak mmasyarakat yang enggan menggunakan jasa advokat ini karena dianggap terlalu mahal. Ibarat system pendidikan yang kian mahal hari ini, sehingga akses masyarakat semakin terbatas, demikian pulalah yang terjadi dalam system hokum kita hari ini. Bantuan hokum yang seharusnya menjadi hak dasar warga Negara, justru terasa jauh dari apa yang diamanahkan oleh konstitusi dasar Negara kita.
Dilema Bantuan Hukum

Advokat atau pengacara sebagai profesi yang berkaitan langsung dengan bantuan hokum Cuma-Cuma ini, bahkan diperintahkan oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, untuk memberikan bantuan hokum bagi masyarakat yang kurang mampu. Namun yang sangat disayangkan, justru akses ini tidak secara jelas diatur sebagai tanggung jawab Negara. Pasal 22 ayat (1) dalam undang-undang ini meyebutkan secara tegas bahwa, “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”. Dan kewajiban ini melekat kepada siapapun yang berprofesi sebagai advokat, dimanapun ia berada.

Namun permasalahannya adalah, mainstream utama profesi advokat hari ini justru terjebak dengan logika pasar dan ekonomi. Dimana bantuan hokum tidak lagi mampu ditempatkan sebagai kewajiban, namun tidak lebih dari sebagai sebuah bisnis. Bantuan hokum diperdagangkan sedemikian rupa. Siapa yang menawar lebih tinggi, maka berhak mendapatkan bantuan hokum yang jauh lebih memuaskan disbanding mereka yang bayarannya sedikit. Coba kita bayangkan bagaimana dengan mereka yang tidak mampu?. Jika benar demikian adanya, tentu dibutuhkan suatu upaya tegas dari Negara untuk meberikan jaminan sepenuhnya terhadap bantuan hokum dan akses keadilan bagi masyarakat. Ada beberapa hal yang menajadi catatan penting untuk menjawab permasalah dilem bantuan hokum ini, antara lain :

Pertama, Bahwa untuk mengoptimalkan akses keadilan bagi masyarakat, khususnya hak untuk memperoleh bantuan hukum, memang diperlukan suatu bentuk regulasi yang lebih jelas dan tegas. Meskipun konstitusi telah mengamanahkan hak bantuan hokum ini.

Kedua, Menyambung pada point pertama, bahwa bantuan hokum Cuma-Cuma adalah tanggung jawab Negara terhadap warga negaranya, Cuma-Cuma bagi masyarakat yang kurang mampu, tidak mendapatkan sanksi apa-apa selain dari organisasi advokat yang bersangkutan. Tidak diperoleh sama sekali sanksi tegas terhadap penolakan pemenuhan hak dasar bantuan hokum tersebut.

Ketiga, diperlukan tenaga pendamping bantuan hokum, diluar profesi advokat yang sudah ada. Tenaga pendamping ini bisa diwujudkan dalam bentuk “Paralegal”, atau mereka yang memiliki kecakapan khusus dibidang hokum dan dapat mendampingi masyarakat yang membutuhkan, dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat kita. Kita harus mendorong keberadaan pemahaman bahwa permasalahan bantuan hokum tidak hanya dimonopoli oleh advokat semata. Keputusan Mahkamah Konstitusi RI tersebut merupakan putusan yang bersifat hokum tetap serta pertama dan yang terakhir (the first and the last), oleh karenanya semua pihak harus harus menghotmati keputusan tersebut.

Akses Bantuan Hukum Disetiap Proses Hukum
Berdasarkan ketentuan dalam KUHAP tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin, sangat terbatas hanya berdasarkan atas berat ringannya hukuman (the severity of penalty) dan atau kemampuan keuangan (financial) dari terdakwa/tersangka. Lantas bagaimana dengan proses hukum diluar pengadilan? Apakah masyarakat tidak memiliki akses bantuan hukum, hanya karena terbentur dasar yang termuat dalam KUHAP tersebut?. Jika benar demikian adanya, maka KUHAP hanya menyempitkan akses masyarakat miskin terhadap hak bantuan hukum yang telah dijamin oleh konstitusi kita. Bantuan hukum, seharusnya mampu diterapkan pada setiap tingkatan atau proses hukum, baik di luar maupun di dalam pengadilan. dengan demikian maka akses keadilan dan hak atas bantuan hukum, khususnya masyarakat miskin, lebih terjamin sesuai dengan amanah konstitusi dasar Negara kita

Referensi

http://www.lbhmakassar.org/index.php?option=com_content&view=article&id=165:bantuan-hukum adalah-hak-warga-negara-&catid=41:opini&Itemid=76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar