Selasa, 12 April 2011

Iman Manusia sebagai pandangan hidup


tema : manusia dan pandangan hidup


Bicara tentang iman sebagai pandangan hidup adalah bicara tentang sisi qalbiyah dari iman, dengan catatan bahwa istilah  qalbun atau al-qalbu di sini adalah jiwa, yang dalam kajian psikologi terbagi menjadi dua unsur atau daya (potention), yaitu pikiran dan perasaan. Dengan demikian, sisi qalbiyah (= kejiwaan) yang dimaksud di sini bila dirinci akan mencakup sisi penalaran atau pemahaman (intelect; kognitif), cita-cita (idealism), penghayatan batin atau perasaan (emotion; afektif), dan kehendak atau keinginan (will).
Jadi, jelaslah bahwa pandangan umum yang menganggap sisi qalbiyah dari iman sebagai kepercayaan – yang masuk ke bidang perasaan – adalah suatu pandangan yang tak seimbang, karena mengabaikan satu sisi jiwa yang lain, yakni pikiran.

Selain itu, pandangan demikian juga berbahaya karena menjerumuskan iman ke lubang gelap tanpa dasar, sehingga iman menjadi sesuatu yang serba rahasia (misterius). Padahal,  rujukan-rujukan agama kita yang pokok, Al-QurĂ£n dan Hadis, memaparkan ‘apa itu’ iman secara demikian gamblang. Tapi bisa dimaklumi juga mengapa pendangan demikian itu bisa hidup. Hal itu sangat berhububungan dengan pengajaran agama yang cenderung menggambarkan iman sebagai sebuah doktrin.[5]

Sisi penalaran, pemahaman dan cita-cita dengan kata lain berarti alam pikiran, atau jalan pikiran, atau logika.[6] Sedangkan perasaan dan keinginan, bisa dikatakan sebagai alam rasa atau  alam kebatinan, bila mengingat bahwa batin dalam pemahaman orang Indonesia berarti perasaan.[7] Di antara kedua sisi jiwa itu, perasaan lah yang paling banyak berperan dalam mengendalikan kehidupan manusia secara umum.
Hal itu terjadi karena, pertama, perasaan adalah sesuatu yang berkaitan dengan panca indra, yang merupakan ‘modal awal’ untuk bisa menjalani hidup. Kedua, pada saat manusia hanya menguasai ilmu dalam kadar yang sangat sedikit, sisi jiwa yang tercakup dalam alam rasa seperti dugaan, perkiraan, prasangka, kepercayaan, dan sebagainya, dengan sendirinya mendapatkan peluang untuk berperan.

Karena itu, bisa dikatakan bahwa secara umum manusia adalah makhluk irrational; dalam arti bahwa ratio-(akal)-nya kurang berperan dibandingkan dengan perasaannya.

Sehubungan dengan itu, perhatikanlah perkataan Abu Bakar ini:
“Beruntunglah orang yang menjadikan akalnya sebagai pemimpin (dirinya); sebaliknya celakalah orang yang menjadikan nafsunya sebagai pemimpin.”

Perkataan Abu Bakar tersebut akan menjadi semakin tajam bila dihubungkan dengan sebuah pepatah, yang kadang disebut sebagai Hadis Nabi, yaitu: Agama adalah (urusan) akal. Agama tidak berlaku bagi orang yang tak berakal.[8]

Kedua petuah tersebut bisa dijadikan isyarat (indikasi) bahwa agama (Islam) diturunkan untuk ditempatkan di wilayah akal, supaya akal bisa menajadi pemimpin dalam kehidupan manusia.

referensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar