Kamis, 25 November 2010

Bencana Alam Menjadi Beban kota Metropolitan

                                                                                                                 
Tata kota dan pemerintahan yang baik menjadi prasyarat penting untuk menjamin keberdayaan rakyat dan keterlibatan mereka dalam pengembangan lingkungan perkotaan agar mereka tidak terpinggirkan dan terkena bencana akibat perubahan iklim, kekerasan, serta kesehatan yang buruk (IFRC, World Disaster Report 2010: Focus on Urban Risk).

Bencana alam akibat perubahan iklim dan kerentanan sosial yang muncul dari pesatnya pembangunan perkotaan dewasa ini menjadi tema pokok dari peringatan Pengurangan Bencana Dunia (World Disaster Campaign 2010).

Gempa bumi di Haiti, Chili dan Selandia Baru; hujan deras dan banjir di Pakistan, Eropa Timur, Mozambik, dan bagian lain dari Afrika; kebakaran hutan di Rusia, longsor serta letusan gunung berapi di Indonesia dan Islandia; semuanya menyebabkan penderitaan manusia dan kerusakan infrastruktur-ekonomi.
 
Dalam bayang-bayang perubahan iklim, kota-kota pun tidak kebal dari bencana. Laporan Federasi Palang Merah Internasional (IFRC) menyebut 2,57 miliar penduduk berpendapatan rendah rentan bencana akibat laju urbanisasi, pertumbuhan penduduk, sanitasi dan pelayanan kesehatan yang buruk, serta kasus-kasus kekerasan.

Antara sepertiga hingga setengah dari penduduk kota-kota besar yang berpendapatan rendah itu tinggal di permukiman informal atau kumuh.


Dalam Forum DRR Shanghai akhir Juli lalu, Margaretha Wahlstrom, wakil khusus Sekjen PBB–UNISDR menyerukan kepada wali kota, para perencana kota dan pengusaha serta masyarakat sipil, untuk membangun kolaborasi mengembangkan solusi alternatif dan praktik inovatif dalam mengurangi risiko bencana dan kerentanan sosial. Pemerintah Kota Makassar bersama 85 wali kota lainnya termasuk bagian dari penandatangan kampanye tersebut.



Bencana Ekologis

Kerusakan daya dukung lingkungan hidup adalah salah satu penyebab utama bencana dewasa ini. Sedangkan kerusakan ekologi disebabkan pesatnya kapitalisasi sumber daya agraria, yang hingga kini nyaris tidak bisa lagi dimoratorium.

Dalam kurun waktu 1997–2009, Pusat Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana melaporkan 6.632 kali bencana ekologi di Indonesia. Sebanyak 5.444 kali di antaranya terjadi antara tahun 2004–2008. Jika diratakan per bulan, terjadi 42 kali bencana di republik ini. Sebanyak 151.277 orang tewas dalam 13 tahun itu.

Bencana paling dahsyat dalam sejarah berdirinya republik ini adalah gempa dan tsunami Aceh akhir Desember 2004. Sejak itu, bencana gempa, letusan gunung berapi, banjir, badai, longsor, bergerak sampai di Wasior Papua Barat 4 Oktober lalu.
 
Kota bagi kaum buruh dan petani miskin perdesaan bagaikan iklan yang selalu menggodanya untuk mencoba beradu nasib di sana. Mereka yang "beruntung" menjadi kaya dan terdidik. Mereka yang "buntung" menjadi gelandangan di emperan dan pinggiran kota.


Risiko Bencana Perkotaan

Resiko yang paling utama dalam bencana ini adalah Urbanisasi Pasca Bencana dimana Laporan Bencana Dunia 2010 dan Risiko Perkotaan yang diluncurkan IFRC 1 Oktober lalu menyatakan bahwa 1 miliar penduduk kota di dunia saat ini tinggal di daerah kumuh yang penuh sesak, dan akan naik menjadi 1,4 miliar pada 2020.

Sebagai contoh, Afrika yang dahulu sering dianggap sebagai perdesaannya dunia, sekarang memiliki penduduk perkotaan (412 juta), lebih besar dari Amerika Utara (286 juta). Situasinya menjadi riskan ketika penduduk menjadi beban bagi kota. Sementara pertumbuhan kota tidak optimal menyediakan fasilitas dasar bagi penduduknya. Bencana perkotaan menjadi laten karena hanya menunggu faktor-faktor pemicunya.

Hasil survei CRED, Pusat Penelitian tentang Epidemiologi Bencana, menunjukkan bahwa wilayah-wilayah dunia yang paling urban cenderung memiliki lebih sedikit kematian akibat bencana alam. Akan tetapi, mengalami kerugian ekonomi yang lebih tinggi seperti yang terjadi di Eropa.

Di negeri maju itu memiliki 72 persen penduduk urban, yang pada tahun 2007 mengalami 65 kali bencana, dan mengakibatkan kematian 1 persen, tetapi dampaknya adalah 27 persen dari kerusakan ekonomi di seluruh dunia. Dan disadari bahwa, faktor lain pemicu dari tingginya risiko bencana dunia dewasa ini adalah perubahan iklim.

Kota Makassar dewasa ini sedang mengemas dirinya menjadi Kota Dunia Berlandaskan Kearifan Lokal. Ibarat gerbong kereta api, laju pembangunan mengikuti jalur pertumbuhan kota megapolitan umumnya. Namun, searah dengan kemajuan itu, urbanisasi, kepadatan permukiman, semakin rendahnya daya dukung lingkungan dan kemacetan lalu lintas adalah problem yang masih tersisa.




Dengan jumlah penduduk 1.371.904 jiwa, kota Makassar menyisakan keluarga miskin 62.06 rumah tangga (RT), di antaranya berumah tidak layak huni 3.197 RT, dan tinggal di atas kawasan kumuh seluas 540,78 ha di 23 kelurahan.

Pertumbuhan permukiman kumuh dengan material bangunan yang rentan terbakar, sistem drainase yang buruk, terutama terkonsentrasi di sepanjang kanal dan pesisir selatan dan utara kota. Rawan konflik sosial, dengan kondisi lingkungan fisik permukiman yang menjadi rentan dari banjir, genangan air bercampur sampah/limbah.

Sebanyak 16.689 KK penduduk berada di kawasan yang berisiko bencana. Menurut data Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, rata-rata kasus kebakaran 15 kali per bulan dalam setahun terakhir. Sementara 24 kawasan kumuh rentan banjir, yang berisiko pada peningkatan kasus diare, typhus dan demam berdarah.

Sebagai salah kota tua di dunia, Makassar sudah harus menjadikan perspektif pengelolaan risiko bencana pada seluruh aspek pembangunannya. Banyak kota di dunia ini yang mengarusutamakan manajemen bencana untuk melindungi warganya.

Atas dasar itu pula, forum Pengurangan Risiko Bencana Shanghai menjadi penting artinya. Kota Dunia menjadi berarti ketika Makassar dibangun di atas landasan cita-cita konstitusi, yakni memenuhi, mensejahterakan, dan melindungi warganya dari bencana alam, kekerasan dan pemiskinan.

Pengurangan Risiko

Sejauh yang bisa dilakukan masyarakat perkotaan dewasa ini adalah mengelola sumber daya dalam bayang-bayang bencana dan perubahan iklimserta urbanisasi yang menjadi kerugian besar kota metropolitan .

Perspektif manajemen bencana menegaskan bahwa bencana tidak bisa diakhiri, tetapi bisa dikelola untuk mengurangi risiko maupun dampak kerusakan yang lebih besar. Dalam hal ini, kesadaran bahwa bencana alam sesungguhnya adalah ulah manusia sendiri menjadi penting maknanya.

Kampanye Hari Internasional Pengurangan Bencana setiap 13 Oktober.
Kampanye ini akan menyorot kesungguhan pemerintah dalam mengantisipasi bencana dan mewujudkan masyarakat kota yang lebih aman dan tangguh.

Kampanye Untuk pengurangan bencana yang mengakibatkan Urbanisasi besar-besaran, mempunyai Sepuluh poin yang dimaksud adalah

(1) Menata organisasi dan koordinasi untuk mendorong partisipasi publik, membangun aliansi, dan memastikan semua departemen memahami peran masing-masing.

(2) Menetapkan anggaran pengurangan risiko bencana, insentif bagi keluarga berpenghasilan rendah, dan mendorong sektor bisnis untuk berinvestasi dalam mengurangi risiko bencana.

(3) Merawat data tetap up-to-date, mempersiapkan penilaian risiko sebagai dasar perencanaan pembangunan, dan memastikan ketersediaan informasi bagi public. (4) Berinvestasi dan memelihara infrastruktur yang kritis (buruk) untuk mengurangi risiko seperti banjir sebagai akibat perubahan iklim.

(5) Menilai keselamatan/keamanan semua sekolah, fasilitas kesehatan, dan meng-upgrade atau perbaikan sesuai keperluan.


(6) Menerapkan peraturan tentang risiko bangunan dan tata guna lahan dengan mengidentifikasi keamanan tanah bagi warga miskin, serta mengembangkan penataan pemukiman informal. (7) Melaksanakan program-program pendidikan dan pelatihan pengurangan risiko bencana di sekolah dan masyarakat setempat. (8) Melindungi ekosistem dan daerah penyanggah alami untuk mengurangi banjir, badai dan bahaya lain dengan praktik pengurangan risiko yang baik.


(9) Menginstal sistem peringatan dini dan kapasitas manajemen darurat bencana dan latihan rutin kesiap-siagaan masyarakat. (10) Mengembangkan pusat rekonstruksi pasca bencana, dan dengan dukungan organisasi-organisasi komunitas, merancang penerapan tanggap bencana, termasuk membangun kembali rumah dan mata pencaharian mereka.

Pesan pokok dari platform tersebut adalah mengurangi risiko bencana perkotaan yang dapat mengakibatkan lonjakan penduduk kota karena daerah pedesaann yang terkena banjir sehingga penduduk berpindah ke kota adalah dengan menjadikan masyarakat yang paling rentan sebagai bagian yang ikut membicarakan, mendesain dan mengontrol tata ruang sebuah kota. (*)



M NAWIR (Aktivis Jaringan Rakyat Miskin Kota, Uplink Indonesia Makassar)

http://metronews.fajar.co.id/read/107328/19/kota-dalam-bayangbayang-bencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar